Birokrasi
berasal dari kata bureaucracy (bahasa
inggris bureau + cracy), diartikan sebagai suatu organisasi yang
memiliki rantai komando dengan
bentuk piramida,
dimana lebih banyak orang berada ditingkat bawah dari pada tingkat atas,
biasanya ditemui pada instansi yang sifatnya administratif
maupun militer.
Pada rantai komando ini setiap posisi serta tanggung jawab kerjanya
dideskripsikan dengan jelas dalam organigram.
Organisasi
ini pun memiliki aturan
dan prosedur
ketat sehingga cenderung kurang fleksibel. Ciri lainnya adalah biasanya
terdapat banyak formulir yang harus dilengkapi dan pendelegasian wewenang harus dilakukan sesuai
dengan hirarki kekuasaan.
Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, birokrasi didefinisikan sebagai :
- Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh
makan pegawai pemerintah
karena telah berpegang pada hirarki dan jenjang jabatan
- Cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba
lamban, serta menurut tata aturan (adat
dan sebagainya) yang banyak liku-likunya dan sebagainya.
Definisi birokrasi ini mengalami
revisi, dimana birokrasi
selanjutnya didefinisikan sebagai
- Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai
bayaran yang tidak dipilih oleh rakyat,
dan
- Cara pemerintahan
yang sangat dikuasai oleh pegawai.
Berdasarkan
definisi tersebut, pegawai atau karyawan dari birokrasi diperoleh dari
penunjukan atau ditunjuk (appointed) dan bukan dipilih (elected).
Pada
massanya de Gournay, birokrasi terkesan negatif dan menyulitkan dalam melayani
masyarakat, karena pada waktu itu para birokrat seperti pejabat, sekretaris,
inspektur, dan juru tulis lebih dipentingkan untuk melayani raja/penguasa,
bukan untuk melayani kepentingan umum. Weber menekankan perlunya legitimasi
sebagai dasar sistem otoritas, serta bagaimana ciri-ciri staf administrasi yang
sesuai dengan konsep birokrasi menurut Weber.
Menurut
Weber demokrasi tidak sama dengan birokrasi di mana dalam birokrasi memerlukan
persyaratan dalam pengangkatan seseorang/pejabat, sedangkan demokrasi
mensyaratkan pemilihan seseorang/pejabat oleh banyak orang, tidak diangkat.
Batas-batas lingkup sistem-sistem otoritas umumnya dan demokrasi khususnya dikelompokkan menjadi 5, yaitu kolegialitas, pemisahan kekuasaan, administrasi amatir, demokrasi langsung, dan representasi (perwakilan).
Batas-batas lingkup sistem-sistem otoritas umumnya dan demokrasi khususnya dikelompokkan menjadi 5, yaitu kolegialitas, pemisahan kekuasaan, administrasi amatir, demokrasi langsung, dan representasi (perwakilan).
BIROKRASI DI INDONESIA MASA KERAJAAN TRADISIONAL
Sebagian besar
wilayah Indonesia sebelum kedatangan bangsa asing pada abad ke-16, menganut
sistem kekuasaan dan pengaturan masyarakat yang berbentuk sistem kerajaan.
Dalam sistem kerajaan, pucuk pimpinan ada di tangan raja sebagai pemegang
kekuasaan tunggal dan absolute. Segala keputusan ada di tangan raja dan semua
masyarakat harus patuh dan tunduk pada kehendak sang Raja. Birokrasi
pemerintahan yang terbentuk pada saat itu adalah birokrasi kerajaan, yang
memiliki ciri – ciri sebagai berikut :
1) Penguasa
menganggap dan menggunakan administrasi publik sebagai urusan pribadi.
2) Administrasi
adalah perluasan rumah tangga istana.
3) Tugas
pelayanan ditujukan kepada pribadi sang raja.
4) “Gaji”
dari raja kepada bawahan pada hakikatnya adalah anugerah yang juga dapat
ditarik sewaktu- waktu sekehendak raja.
5) Para
pejabat kerajaan dapat bertindak sekehendak hatinya terhadap rakyat, seperti
halnya dilakukan oleh raja.
Aparat kerajaan
dikembangkan sesuai dengan perkembangan kebutuhan raja. Di dalam pemerintahan
pusat ( keratin), urusan dalam pemerintahan diserahkan kepada empat pejabat
setingkat menteri ( wedana lebet ) yang dikoordinasikan oleh seorang pejabat
setingkat Menteri Kordinator ) pepatih lebet ). Pejabat – pejabat kerajaan
tersebut masing – masing membawahi pegawai ( abdidalem ) yang jumlahnya cukup
banyak. Daerah di luar keraton, seperti daerah pantai raja menunjuk bupati
–bupati yang setia kepada raja untuk menjadi penguasa daerah. Para bupati
biasanya bupati lama yang telah ditaklukkan oleh raja, pemuka masyarakat
setempat, atau saudara raja sendiri.
Birokrasi Masa Kerajaan Sriwijaya
dan Majapahit
Pada masa Kerajaan Sriwijaya, sudah dikenal konsep birokrasi
serta pembagian tugas. Namun demikian raja masih dianggap yang paling berkuasa
dan menentukan segala kekuasaan secara mutlak masih berada di tangan raja. Struktur
pemerintahan Kerajaan Majapahit terdiri dari pemerintah pusat dan daerah.
Masing-masing kerajaan daerah diberi otonomi penuh dan memiliki perangkat
pemerintahan yang lengkap, namun terdapat kewajiban-kewajiban tertentu kepada
pemerintah.
Birokrasi pada Masa Kerajaan Kutai
dan Mataram
Kerajaan Kutai Kertanegara ing
Martapura merupakan gabungan antara kerajaan Kertanegara dan Kutai Martapura
Keman (Mulawarman). Punggawa diserahi tugas untuk menyelenggarakan pemerintahan
daerah, di mana pengawasannya ditugaskan kepada Menteri. Sifat pemerintahan
tetap sentralistis dan terpusat di tangan raja.
Sedangkan pada masa Kerajaan Mataram, raja dibantu oleh seorang Patih dan para penasihat. Birokrasi pemerintahan diserahkan kepada Wedana, untuk mengawasi masalah keraton, baik yang menyangkut keuangan, keprajuritan, dan pengadilan. Untuk mempertahankan kekuasaannya, raja Mataram menggunakan cara kekuasaan, memaksa orang-orang kuat untuk
Sedangkan pada masa Kerajaan Mataram, raja dibantu oleh seorang Patih dan para penasihat. Birokrasi pemerintahan diserahkan kepada Wedana, untuk mengawasi masalah keraton, baik yang menyangkut keuangan, keprajuritan, dan pengadilan. Untuk mempertahankan kekuasaannya, raja Mataram menggunakan cara kekuasaan, memaksa orang-orang kuat untuk
BIROKRASI MASA PEMERINTAHAN HINDIA
BELANDA
Hubungan Pangreh Praja dengan
Binnenlandsch Bestuur (BB)
Tidak semua orang dapat menduduki jabatan sebagai pangreh
praja sehingga seseorang perlu magang (pengabdian yang belum digaji) kepada
seorang priyayi atasan/pejabat. Dari magang tersebut terjadi hubungan
patron-klien, di mana para pemagang akan sabar menunggu sampai diangkat sebagai
pangreh praja di mana kalau perlu mereka akan menjilat, cari muka, dan
sebagainya. Jika oleh priyayi atau atasan dinilai para pemagang itu tidak
pantas jadi priyayi, ya tidak akan diangkat. Dalam hubungan
bawahan-atasan/priyayi maka tampak ada penghormatan yang berlebihan, misalnya
jika priyayi rendahan berkunjung ke pejabat yang lebih tinggi maka harus pakai
pakaian adat, sendalnya dilepas, dan sebagainya. Atribut kepangkatan sangat
ditonjolkan, misalnya berkunjung ke suatu tempat disertai pengiring lengkap
dengan payungnya.
Lambat laun banyak priyayi muda yang mendapatkan pendidikan lebih baik walaupun dengan didikan ala Eropa, misalnya tinggal bersama keluarga Eropa murni, sekolah di sekolah Belanda. Walaupun ada ketakutan dari pihak Belanda tentang pejabat pribumi yang terlalu maju sehingga akan berani dengan pejabat Belanda.
Lambat laun banyak priyayi muda yang mendapatkan pendidikan lebih baik walaupun dengan didikan ala Eropa, misalnya tinggal bersama keluarga Eropa murni, sekolah di sekolah Belanda. Walaupun ada ketakutan dari pihak Belanda tentang pejabat pribumi yang terlalu maju sehingga akan berani dengan pejabat Belanda.
Perubahan-perubahan yang Dilakukan oleh Pemerintah Hindia
Belanda terhadap Birokrasi Tradisional
Mulai akhir
abad ke-19, sudah muncul adanya kesadaran mengenai pola hubungan antara rakyat
biasa dan priyayi atau antara pangreh praja dengan Binnenlandsch Besturr (BB)
yang lebih baik, dengan lebih memfungsikan pejabat sebagai pemimpin rakyat.
Pemuda pribumi pada akhir abad ke-19 tersebut sudah mulai mendapat pendidikan ala Eropa yang memadai, seperti Diperbolehkannya kaum pribumi sekolah di ELS, HBS, dan sebagainya. Tujuan kolonial Belanda dengan memberikan kesempatan kepada kaum pribumi untuk mendapatkan pendidikan ala Eropa adalah agar mulai lebih dapat membantu kepentingan Belanda dalam penjajahan di Indonesia di mana pada akhirnya malah memusingkan Hindia Belanda sendiri.
Pemuda pribumi pada akhir abad ke-19 tersebut sudah mulai mendapat pendidikan ala Eropa yang memadai, seperti Diperbolehkannya kaum pribumi sekolah di ELS, HBS, dan sebagainya. Tujuan kolonial Belanda dengan memberikan kesempatan kepada kaum pribumi untuk mendapatkan pendidikan ala Eropa adalah agar mulai lebih dapat membantu kepentingan Belanda dalam penjajahan di Indonesia di mana pada akhirnya malah memusingkan Hindia Belanda sendiri.
BIROKRASI
ZAMAN ORDE LAMA
Berakhirnya
masa pemerintahan kolonial membawa perubahan sosial politik yang sangat berarti
bagi kelangsungan sistem birokrasi pemerintahan. Perbedaan – perbedaan
pandangan yang terjadi diantara pendiri bangsa di awal masa kemerdekaan tentang
bentuk Negara yang akan didirikan, termasuk dalam pengaturan birokrasinya,
telah menjurus kea rah disintegrasi bangsa dan keutuhan aparatur pemerintahan.
Perubahan bentuk Negara dari kesatuan menjadi federal berdasarkan konstitusi
RIS melahirkan dilematis dalam cara pengaturan aparatur pemerintah. Setidak-tidaknya
terdapat dua persoalan dilematis menyangkut birokrasi pada saat itu. Pertama,
bagaimana cara menempatkan pegawai Republik Indonesia yang telah berjasa
mempertahankan NKRI,tetapi relatif kurang memiliki keahlian dan pengalaman
kerja yang memadai. Kedua, bagaimana menempatkan pegawai yang telah bekerja
pada Pemerintah belanda yang memiliki keahlian,tetapi dianggap berkhianat atau
tidak loyal terhadap NKRI.
Demikian pula
penerapan sistem pemerintahan parlementer dan sistem politik yang mengiringinya
pada tahun 1950-1959 telah membawa konsekuensi pada seringnya terjadi
pergantian kabinet hanya dalam tempo beberapa bulan. Seringnya terjadi
pergantian kabinaet menyebabkan birokrasi sangat terfragmentasi secara politik.
Di dalam birokrasi tejadi tarik-menarik antar berbagai kepentingan partai
politik yang kuat pada masa itu. Banyak kebijakan atau program birokrasi
pemerintah yang lebih kental nuansa kepentingan politik dari partai yang sedang
berkuasa atau berpengaruh dalam suatu departemen.Program – program departemen
yang tidak sesuai dengan garis kebijakan partai yang berkuasa dengan mudah
dihapuskan oleh menteri baru yang menduduki suatu departemen. Birokrasi pada
masa itu benar- benar mengalami politisasi sebagai instrument politik yang
berkuasa atau berpengaruh.Dampak dari sistem pemerintahan parlementer telah
memunculkan persaingan dan sistem kerja yang tidak sehat di dalam birokrasi.
Birkrasi menjadi tidak professional dalam menjalankan tugas-tugasnya, birokrasi
tidak pernah dapat melaksanakan kebijakan atau program-programnya karena sering
terjadi pergantian pejabat dari partai politik yang memenangkan pemilu. Setiap
pejabat atau menteri baru selalu menerapkan kebijakan yang berbeda dari
pendahulunya yang berasal dari partai politik yang berbeda. Pengangkatan dan
penempatan pegawai tidak berdasarkan merit system, tetapi lebih pada
pertimbangan loyalitas politik terhadap partainya.
BIROKRASI ZAMAN ORDE BARU
BIROKRASI ZAMAN ORDE BARU
Birokrasi pada
masa Orde Baru menciptakan strategi politik korporatisme Negara yang bertujuan
untuk mendukung penetarsinya ke dalam masyarakat, sekaligus dalam rangka
mengontrol piblik secara penuh. Strategi politik birokrasi tersebut merupakan
strategi dalam mengatur system perwakilan kepentingan melalui jaringan
fungsional nonideologis, dimana sistem tersebut memberikan berbagai lisensi
pada kelompok fungsional dalam masyarakat, seperti monopoli atau perizinan,
yang bertujuan untuk meniadakan konflik antar kelas atau antar kelompok
kepentingan dalam masyarakat yang memiliki konsekuensi terhadap hilangnya
pluralitas social,politik maupun budaya. Pemerintahan Orde Baru mulai
menggunakan birokrasi sebagai premium mobile bagi program pembangunan nasional.
Reformasi birokrasi yang dilakukan diarahkan pada :
1. Memindahkan
wewenang administratif kepada eselon atas dalam hierarki birokrasi.
2. Untuk
membuat agar birokrasi responsif terhadap kehendak kepemimpinan pusat.
3. Untuk
memperluas wewenang pemerintah baru dalam rangka mengkonsolidasikan pengendalian
atas daerah-daerah.
BIROKRASI ZAMAN REFORMASI
Publik
mengharapkan bahwa dengan terjadinya Reformasi, akan diikuti pula dengan
perubahan besar pada desain kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,
baik yang menyangkut dimensi kehidupan politik, sosial, ekonomi maupun
kultural. Perubahan struktur, kultur dan paradigma birokrasi dalam berhadapan
dengan masyarakat menjadi begitu mendesak untuk segera dilakukan mengingat
birokrasi mempunyai kontribusi yang besar terhadap terjadinya krisis
multidimensional yang tengah terjadi sampai saat ini. Namun, harapan terbentuknya
kinerja birokrasi yang berorientasi pada pelanggan sebagaimana birokrasi di
Negara – Negara maju tampaknya masih sulit untuk diwujudkan. Osborne dan
Plastrik ( 1997 ) mengemukakan bahwa realitas sosial, politik dan ekonomi yang
dihadapi oleh Negara – Negara yang sedang berkembang seringkali berbeda dengan
realitas sosial yang ditemukan pada masyarakat di negara maju. Realitas empirik
tersebut berlaku pula bagi birokrasi pemerintah, dimana kondisi birokrasi di
Negara – Negara berkembang saat ini sama dengan kondisi birokrasi yang dihadapi
oleh para reformis di Negara – Negara maju pada sepuluh dekade yang lalu.
Persoalan birokrasi di Negara berkembang, seperti merajalelanya korupsi,
pengaruh kepentingan politik partisan, sistem Patron-client yang menjadi norma
birokrasi sehingga pola perekrutan lebih banyak berdasarkan hubungan personal
daripada faktor kapabilitas, serta birokrasi pemerintah yang digunakan oleh
masyarakat sebagai tempat favorit untuk mencari lapangan pekerjaan merupakan
sebagian fenomena birokrasi yang terdapat di banyak Negara berkembang, termasuk
di Indonesia. Kecenderungan birokrasi untuk bermain politik pada masa
reformasi, tampaknya belum sepenuhnya dapat dihilangkan dari kultur birokrasi
di Indonesia. Perkembangan birokrasi kontemporer memperlihatkan bahwa arogansi
birokrasi sering kali masih terjadi. Kasus Brunei Gate dan Bulog Gate setidak –
tidaknya memperlihatkan bahwa pucuk pimpinan birokrasi masih tetap
mempraktikkan berbagai tindakan yang tidak transparan dalam proses pengambilan
keputusan. Birokrasi yang seharusnya bersifat apolitis, dalam kenyataannya
masih saja dijadikan alat politik yang efektif bagi kepentingan – kepentingan
golongan atau partai politik tertentu. Terdapat pula kecenderungan dari aparat
yang kebetulan memperoleh kedudukan atau jabatan strategis dalam birokrasi,
terdorong untuk bermain dalam kekuasaan dengan melakukan tindak KKN. Mentalitas
dan budaya kekuasaan ternyata masih melingkupi sebagian besar aparat birokrasi
pada masa reformasi. Kultur kekuasaan yang telah terbentuk semenjak masa
birokrasi kerajaan dan kolonial ternyata masih sulit untuk dilepaskan dari
perilaku aparat atau pejabat birokrasi. Masih kuatnya kultur birokrasi yang
menempatkan pejabat birokrasi sebagai penguasa dan masyarakat sebagai pengguna
jasa sebagai pihak yang dikuasai, bukannya sebagai pengguna jasa yang
seharusnya dilayani dengan baik, telah menyebabkan perilaku pejabat birokrasi
menjadi bersikap acuh dan arogan terhadap masyarakat.
Dalam kondisi
pelayanan yang sarat dengan nuansa kultur kekuasaan, publik menjadi pihak yang
paling dirugikan. Kultur kekuasaan dalam birokrasi yang dominan membawa dampak
pada terabaikannya fungsi dan kultur pelayanan birokrasi sebagai abdi
masyarakat. Pada tataran tersebut sebenarnya berbagai praktik penyelewengan
yang dilakukan oleh birokrasi terjadi tanpa dapat dicegah secara efektif.
Penyelewengan yang dilakukan birokrasi terhadap masyarakat pengguna jasa
menjadikan masyarakat sebagai objek pelayanan yang dapat dieksploitasi untuk
kepentingan pribadi pejabat ataupun aparat birokrasi. Inefisiensi kinerja
birokrasi dalam penyelengaraan kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik masih
tetap terjadi pada masa reformasi. Birokrasi sipil termasuk salah satu sumber
terjadinya inefisiensi pemerintahan. Inefisiensi kegiatan pemerintahan dan
pelayanan publik terlihat dari masih sering terjadinya kelambanan dan kebocoran
anggaran pemerintah. Jumlah aparat birokrasi sipil yang terlampau besar
merupakan salah satu faktor yang memberikan kontribusi terhadap inefisiensi
pelayanan birokrasi. Lambannya kinerja pelayanan birokrasi dimanifestasikan
pada lamanya penyelesaian urusan dari masyarakat yang membutuhkan prosedur
perizinan birokrasi seperti pengurusan sertifikasi tanah, IMB, HO dan
sebagainya.
Sebagian besar
aparat birokrasi masih memiliki anggapan bahwa eksistensinya tidak ditentukan
oleh masyarakat dalam kapasitasnya sebagai pengguna jasa. Persepsi yang masih
dipegang kuat aparat birokrasi adalah prinsip bahwa gaji yang diterima selama
ini bukan dari masyarakat tetapi dari pemerintah sehingga konstruksi nilai yang
tertanam dalam birokrasi yang sangat independen terhadap publik tersebut
menjadikan birokrasi memiliki anggapan bahwa masayarakat-lah yang membutuhkan
birokrasi, bukan sebaliknya. Kecenderungan perilaku birokrasi yang masih tetap
korup dan belum mengubah kultur pelayanan kepada publik, semakin terlihat pada
masa reformasi. Birokrasi di Indonesia saat ini masih dikuasai oleh kekuatan
yang begitu terbiasa berperilaku buruk selama puluhan tahun, birokrasi tidak
hanya mengidap kleptomania tetapi juga antireformasi. Kontraproduktif dalam
birokrasi tersebut sangat berpotensi untuk terjadinya penularan ke seluruh
jaringan birokrasi pemerintah baik Pusat maupun Daerah, baik di kalangan
pejabat tinggi maupun di kalangan aparat bawah. Masih belum efektifnya
penegakkan hukum dan kontrol publik terhadap birokrasi, menyebabkan berbagai
tindakan penyimpangan yang dilakukan aparat birokrasi masih tetap berlangsung.
KESIMPULAN
Kesimpulan yang
dapat saya tulis adalah bisa kita lihat dari pengertian birokrasi yang berasal
dari kata bureaucracy (bahasa
inggris bureau + cracy), diartikan sebagai suatu organisasi yang
memiliki rantai komando dengan
bentuk piramida,
dimana lebih banyak orang berada ditingkat bawah dari pada tingkat atas,
biasanya ditemui pada instansi yang sifatnya administratif
maupun militer.
Dan dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, birokrasi didefinisikan sebagai :
2. Cara
pemerintahan
yang sangat dikuasai oleh pegawai.
Berdasarkan
definisi tersebut, pegawai atau karyawan dari birokrasi diperoleh dari
penunjukan atau ditunjuk (appointed) dan bukan dipilih (elected).
Di Indonesia
Birokrasi sudah ada sejak dari zaman kerajaan seperti yang telah saya tulis
diatas yang telah ada sejak :
1. Kerajaan
Sriwijaya dan Majapahit.
2. Kerajaan
Kutai dan mataram.
3. Pemerintahan
Kolonial Belanda.
4. Zaman
Orde Lama.
5. Zaman
Orde Baru.
6. Zaman
Reformasi seperti kita sekarang ini.
Demikianlah
kesimpulan saya, kepada Bapak saya aturkan Terima Kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar